Stay in touch
Subscribe to our RSS!
Oh c'mon
Bookmark us!
Have a question?
Get an answer!

Rabu, 27 Maret 2013

Kohesi dan Koheresnsi

0 komentar


PEMBAHASAN
KOHESI DAN KOHERENSI


A.    Kohesi dan Koherensi
       Kekoherensian sebuah wacana secara eksplisit diejawantahkan dengan unsur – unsur bahasa dan secara implicit tersirat lewat konteks pelangsungan wacana tersebut. R. Hasan telah melakukan satu telaah tentang kohesi dalam bahasa inggris di sebut dengan judul Grammatical Cohesion in Spoken and Written English (Programme in Linguistics and English Teaching, Paper 7, London: Longman,1968).
Hasan membedakan dua aspek dalam sebuah naskah, yakni “the internal and external aspects of textuality”. Aspek internal adalah aspek kebahasan atau sama dengan kohesi. Sedangkan aspek eksternal adalah cara bahasa berhubungan secara maknawi dengan situasi waktu/tempat bahasa digunakan. Secara singkat Hasan menjelaskan aspek eksternal naskah dalam terminology register. Ia menunjukkan bahwa kiranya sepenggal bahasa dapat di kenal sebagai sebuah naskah wacana jika cirri linguisticnya dapat ditempatkan pada sejumlah dimensi situasi sedemikian rupa dan mengarahkannya kepada sebuah register khusus (walaupun perangai kohesi tidak ada). Kurang lebih cirri yang sama dikemukakan oleh Halliday ketika membicarakan fungsi tektual. Halliday pun mengatakan fungsi tekstual bukan saja berhubungan dengan kohesi gramatikal melainkan juga dengan koherensi retorikal.
       Pembedaan antara kohesi dan koherensi dalam analisis wacana meminta perhatian kita. Labov, seorang pelopor analisis wacana, telah menunjukkan bahwa ada “kaidah-kaidah tertentu dalam wacana yang tidak dapat dideskripsikan tanpa rujukan ke konteks social”. Ini berarti deskripsi tentang kaidah-kaidah itu tergantung pada rujukan yang disebut oleh Hasan external aspects of textuality atau oleh Halliday dikatakan features of the situation.
Contoh sebuah naskah dialog dalam bahasa inggris di bawah ini :
1.      A   :           Can you go to Edinburgh tomorrow ?
B   :           Yes I can.
2.      A   :           Can you go to Edinburgh tomorrow ?
B   :           B.E.A. pilots are on strike.
                                                      (S.P. Corderdan E. Roulet, 1973:72)
           
Dalam dialog yang pertama kita menemukan satu naskah yang kohesif dalam jawaban B. Ia menggunakan kalimat elipsis dalam jawabannya “Yes, I can (go to Edinburgh tomorrow)”.Elipsis, menurut Hasan, adalah salah satu ciri kohesi. Akan tetapi, dalam dialog kedua ternyata tidak ada kohesi antara pertanyaan dan jawaban. Tokoh, dialog kedua itu dalam wacana ini mempunyai makana dan wajar. Dalam konteks mereka, mereka dapat mengerti bahwa B mengatakan “ ia tidak dapat berangkat ke Edinburgh karena para pilot mogok. Dan satu-satunya saran ke sana adalah dengan pesawat udara”. Dalam dialog kedua itu kita menemukan koherensi tanpa ada ciri kohesi sebagai lazimnya sebuah wacana yang utuh.
Tanggal 8 Pebruari 1989 saya memasuki sebuah ruangan kuliah di gedung FPBS IKIP Jakarta. Saya melihat ada beberapa mahasiswa FPBS duduk di dalam kelas/ruang tersebut. Oleh karena saya belum mengenal mereka (walaupun mereka mengenal saya), maka saya bertanya seperti dibawah ini :
DT       :           Saudara-saudara dari jurusan apa?
Salah seorang di antara mahasiswa itu menjawab dengan senyum takut:
                        MJ       :           Kami hanya numpang duduk saja.
Saya terkejut dan mula-mula kurang mengerti “mengapa ia menjawab seperti di atas (MJ)”. Tidak ada kohesi antara pertanyaan dan jawaban.
Saya tentu mengharapkan salah seorang di antara mereka akan menjawab
“Kami dari jurusan , misalnya, bahasa Inggris (atau lainnya)”.
Mengapa ada jawaban “Kami hanya numpang duduk saja”? Mereka tentu mengetahui bahwa ruang itu adalah ruang jurusan bahasa Indonesia dan saya adalah dosen dari jurusan tersebut. Mereka merasa bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk duduk dalam ruang tersebut jika digunakan oleh yang berhak. Lalu saya menjawab:
            DJ  :     “Oh, tidak apa-apa, saya hanya mau tau”.
            Apa yang terjadi disini ialah pemahaman akan konteks pelangsungan wacana tersebut. Inilah yang di sebut koherensi tanpa kohesi.
            Salah satu ciri koherensi menurut Labov ialah shared knowledge ‘pengetahuan bersama atau berbagi pengetahuan’. Perhatikan contoh dibawah ini.
            Pada 9 Pebruari 1989 saya mendengarkan siaran TVRI tentang sejarah Wayang dan dibacakan oleh seorang penyiar pada pukul 18.17. Antara lain wacana itu berbunyi sebagai berikut :
            “…Wayang telah ditulis dalam bahasa Jerman, Perancis, dan Jepang. Tentu saja dalam bahasa Belanda. Sesuatu yang masuk akal….”
            Pertanyaan yang  muncul setelah mendengarkan bagian dari penggalan naskah tersebut ialah “mengapa tulisan tentang tentang wayang dalam bahasa belanda adalah sesuatu yang masuk akal”. Jika seorang tidak mempunyai “pengetahuan bersama” bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama 350 tahun, maka ia tidak akan memahami koherensi “sesuatu yang masuk akal”.
            Kohesi atau kohesi gramatikal dapat diejawantahkan dengan
1.      Rujukan,
2.      Substitusi,
3.      Elipsis,
4.      Kata perangkai/konjungsi, baik gramatikal maupun leksikal, dan
5.      Unsur leksikal.
Referensi atau rujukan terjadi bila unsur-unsur selain mendapatkan
interprestasi secara simantik menurut hakikatnya juga memberikan rujukan kepada sesuatu yang lain untuk interprestasi. Unsur yang berbeda, tetapi merujuk kepada hal yang sama disebut koreferensi atau samrujuk. Yang termasuk dalam kategori refensi ini adalah pronomen, partikel persona, kata penunjuk, dan unsur tingkat bandingan.
Disini kita berhubungan dengan referensi endofora. Disamping itu, sumber informasi pun dapat diperoleh lewat unsur di luar naskah dan kita sebut unsur eksfora.Unsur eksfora umumnya berhubungan dengan konteks keterjadian wacana.
                        Rujukan endofora dibedakan atas rujuakan anafora dan rujukan katafora. Dalam rujukan anafora, unsur yang diperlukan untuk interprestasi atau merujuk terdapat di depan atau mendahului dalam wacana; dan rujukan katafora terjadi jika unsur yang diperlukan untuk interprestasi terdapat dalam bagian yang menyusul atau kemudian.
(1)   Dr. G bukan orang yang haus darah.
Ia sebenarnya ingin memperbaiki cara hukuman mati yang lama.
Pronomen “ia” merujuk kepada Dr. G yang terletak mendahuluinya. Jadi, disini tejadi rujukan anaphora. “Ia” di sini merupakan unsur/butir anaphora dalam wacana.
(2)   Apa gerangan yang terjadi ?
Tak mudah menjawabnya.
Pronomen “-nya” diatas juga merujuk kepada kalimat yang mendahuluinya, yakni “apa gerangan yang terjadi”.
(3)   Kasusnya menelurkan sebuah undang-undang. Vonis mati bagi gadis remaja diralat menjadi hukuman 30 tahun.
Pronomen “-nya” merujuk kepada apa yang dikatakan kemudian atu menyusul, yakni “Vonis mati….”. Jadi, “nya” di sini adalah unsure/butir katafora karena “nya” merujuk kea pa yang menyusul.
            Menurut Halliday dan Hasan rujukan merupakan satu relasi semantic sehingga tidak diperlukan hubungan antara kelas gramatikal dan butir interprestasi. Misalnya, “nya” endofora dapat merujuk kepada kalimat atau isi pikiran dan bukan kepada kelas gramatikal.
            Markah kohesi yang kedua, menurut Halliday dan Hasan, adalah substitusi. Halliday dan Hasan berpendapat bahwa substitusi merupakan satu unsur gramatikal yang menyatakan hubungan antara kata dan bukan hubungan dalam makna.
HH memberikan contoh dalam bahasa Inggris seperti di bawah ini : (HH, hlm 89-90)
            My axe too blunt. I must get a sharper one.
            You think Joan already knows?  I think everybody does.
            Has Barbare left? I think so. (so – that Barbara left)
           
            Markah kohesi yang ketiga, menurut HH, adalah elipsis berhubungan sengan substitusi dan dapat menginterprestasikan bahwa elipsis adalah butir substitusi zero. Dalam percakapan atau wacana lisan lainnya, elipsis sering muncul karena makna telah dibantu oleh konteks percakapan dan cirri penghematan. Jika anda bertanya kepada seseorang “Apakah Anda sudah makan?”, maka ia akan menjawab “Sudah” atau “Belum” bergantung pada konteks. Jawaban “sudah” atau “belum” disini menunjukkan kohesi yang elipsis terhadap pertanyaan sebelumnya.
            Markah kohesi gramatikal yang keempat adalah konjungsi/kata perangkai. Markah perangkai ini merangkai satu kalimat dengan kalimat yang lain sehingga timbul koherensi dan kemasukakalan. Markah konjungsi ini lah yang lebih banyak mendapatkan perhatian dalam analisis wacana daripada markah kohesi gramatikal yang lain.    





DAFTAR PUSTAKA

Abraham, Samuel, dan Ferenc Kiefer. A Theory of Struktural Semantics. The Hague:
            Mounten & Co., 1986.
Adisusilo, Sutaryo. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit
            Kanisius, 1983.
Ali, Lukman. Lurah Taker. Depok: Fakultas sastra UI, 1996.
Alston, William P. Philosophy of Language, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc., 1964.
Ayer, A.J. Language, Truth and Logic. London: Penguin Books, 2001.
Bakker, Anton, Dr. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Beerling, Kwee, Mooij, dan van Peursen. Pengantar Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono
            Soemagono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
Bersten, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
----------, Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta: PT Gramedia, 1981.
Bolinger, Dwight. Language: The Loaded Weapon; The Use and Abuse of Language To day.
            London: Longman Group UK Limited, 1987.

0 komentar: