Kohesi dan Koheresnsi
PEMBAHASAN
KOHESI DAN KOHERENSI
A. Kohesi dan Koherensi
Kekoherensian
sebuah wacana secara eksplisit diejawantahkan dengan unsur – unsur bahasa dan
secara implicit tersirat lewat konteks pelangsungan wacana tersebut. R. Hasan
telah melakukan satu telaah tentang kohesi dalam bahasa inggris di sebut dengan
judul Grammatical Cohesion in Spoken and
Written English (Programme in Linguistics and English Teaching, Paper 7,
London: Longman,1968).
Hasan membedakan dua aspek dalam sebuah
naskah, yakni “the internal and external aspects of textuality”. Aspek internal
adalah aspek kebahasan atau sama dengan kohesi. Sedangkan aspek eksternal
adalah cara bahasa berhubungan secara maknawi dengan situasi waktu/tempat
bahasa digunakan. Secara singkat Hasan menjelaskan aspek eksternal naskah dalam
terminology register. Ia menunjukkan bahwa kiranya sepenggal bahasa dapat di
kenal sebagai sebuah naskah wacana jika cirri linguisticnya dapat ditempatkan
pada sejumlah dimensi situasi sedemikian rupa dan mengarahkannya kepada sebuah
register khusus (walaupun perangai kohesi tidak ada). Kurang lebih cirri yang
sama dikemukakan oleh Halliday ketika membicarakan fungsi tektual. Halliday pun
mengatakan fungsi tekstual bukan saja berhubungan dengan kohesi gramatikal
melainkan juga dengan koherensi retorikal.
Pembedaan
antara kohesi dan koherensi dalam analisis wacana meminta perhatian kita.
Labov, seorang pelopor analisis wacana, telah menunjukkan bahwa ada
“kaidah-kaidah tertentu dalam wacana yang tidak dapat dideskripsikan tanpa
rujukan ke konteks social”. Ini berarti deskripsi tentang kaidah-kaidah itu
tergantung pada rujukan yang disebut oleh Hasan external aspects of textuality atau oleh Halliday dikatakan features of the situation.
Contoh sebuah naskah dialog dalam bahasa
inggris di bawah ini :
1. A : Can you go to Edinburgh tomorrow ?
B : Yes
I can.
2. A : Can you go to Edinburgh tomorrow ?
B : B.E.A.
pilots are on strike.
(S.P.
Corderdan E. Roulet, 1973:72)
Dalam dialog yang pertama
kita menemukan satu naskah yang kohesif dalam jawaban B. Ia menggunakan kalimat
elipsis dalam jawabannya “Yes, I can (go to Edinburgh tomorrow)”.Elipsis,
menurut Hasan, adalah salah satu ciri kohesi. Akan tetapi, dalam dialog kedua
ternyata tidak ada kohesi antara pertanyaan dan jawaban. Tokoh, dialog kedua
itu dalam wacana ini mempunyai makana dan wajar. Dalam konteks mereka, mereka
dapat mengerti bahwa B mengatakan “ ia tidak dapat berangkat ke Edinburgh
karena para pilot mogok. Dan satu-satunya saran ke sana adalah dengan pesawat
udara”. Dalam dialog kedua itu kita menemukan koherensi tanpa ada ciri kohesi
sebagai lazimnya sebuah wacana yang utuh.
Tanggal 8 Pebruari 1989 saya
memasuki sebuah ruangan kuliah di gedung FPBS IKIP Jakarta. Saya melihat ada
beberapa mahasiswa FPBS duduk di dalam kelas/ruang tersebut. Oleh karena saya
belum mengenal mereka (walaupun mereka mengenal saya), maka saya bertanya
seperti dibawah ini :
DT : Saudara-saudara
dari jurusan apa?
Salah seorang di antara mahasiswa itu menjawab
dengan senyum takut:
MJ : Kami
hanya numpang duduk saja.
Saya terkejut dan mula-mula kurang mengerti “mengapa
ia menjawab seperti di atas (MJ)”. Tidak ada kohesi antara pertanyaan dan
jawaban.
Saya tentu mengharapkan
salah seorang di antara mereka akan menjawab
“Kami dari jurusan ,
misalnya, bahasa Inggris (atau lainnya)”.
Mengapa ada jawaban “Kami hanya numpang duduk
saja”? Mereka tentu mengetahui bahwa ruang itu adalah ruang jurusan bahasa
Indonesia dan saya adalah dosen dari jurusan tersebut. Mereka merasa bahwa
mereka tidak mempunyai hak untuk duduk dalam ruang tersebut jika digunakan oleh
yang berhak. Lalu saya menjawab:
DJ : “Oh,
tidak apa-apa, saya hanya mau tau”.
Apa
yang terjadi disini ialah pemahaman akan konteks pelangsungan wacana tersebut.
Inilah yang di sebut koherensi tanpa kohesi.
Salah
satu ciri koherensi menurut Labov ialah shared
knowledge ‘pengetahuan bersama atau berbagi pengetahuan’. Perhatikan contoh
dibawah ini.
Pada
9 Pebruari 1989 saya mendengarkan siaran TVRI tentang sejarah Wayang dan
dibacakan oleh seorang penyiar pada pukul 18.17. Antara lain wacana itu
berbunyi sebagai berikut :
“…Wayang
telah ditulis dalam bahasa Jerman, Perancis, dan Jepang. Tentu saja dalam
bahasa Belanda. Sesuatu yang masuk akal….”
Pertanyaan
yang muncul setelah mendengarkan bagian
dari penggalan naskah tersebut ialah “mengapa tulisan tentang tentang wayang
dalam bahasa belanda adalah sesuatu yang masuk akal”. Jika seorang tidak
mempunyai “pengetahuan bersama” bahwa Belanda telah menjajah Indonesia selama
350 tahun, maka ia tidak akan memahami koherensi “sesuatu yang masuk akal”.
Kohesi
atau kohesi gramatikal dapat diejawantahkan dengan
1. Rujukan,
2. Substitusi,
3. Elipsis,
4. Kata perangkai/konjungsi, baik gramatikal
maupun leksikal, dan
5. Unsur leksikal.
Referensi atau rujukan terjadi bila
unsur-unsur selain mendapatkan
interprestasi secara simantik menurut
hakikatnya juga memberikan rujukan kepada sesuatu yang lain untuk
interprestasi. Unsur yang berbeda, tetapi merujuk kepada hal yang sama disebut
koreferensi atau samrujuk. Yang
termasuk dalam kategori refensi ini adalah pronomen, partikel persona, kata
penunjuk, dan unsur tingkat bandingan.
Disini kita berhubungan dengan referensi endofora. Disamping itu, sumber
informasi pun dapat diperoleh lewat unsur di luar naskah dan kita sebut unsur eksfora.Unsur eksfora umumnya
berhubungan dengan konteks keterjadian wacana.
Rujukan
endofora dibedakan atas rujuakan anafora dan rujukan katafora. Dalam rujukan
anafora, unsur yang diperlukan untuk interprestasi atau merujuk terdapat di
depan atau mendahului dalam wacana; dan rujukan katafora terjadi jika unsur
yang diperlukan untuk interprestasi terdapat dalam bagian yang menyusul atau
kemudian.
(1) Dr. G bukan orang yang haus darah.
Ia
sebenarnya ingin memperbaiki cara hukuman mati yang lama.
Pronomen “ia” merujuk kepada Dr. G yang
terletak mendahuluinya. Jadi, disini tejadi rujukan anaphora. “Ia” di sini
merupakan unsur/butir anaphora dalam wacana.
(2) Apa gerangan yang terjadi ?
Tak
mudah menjawabnya.
Pronomen “-nya” diatas juga merujuk kepada
kalimat yang mendahuluinya, yakni “apa gerangan yang terjadi”.
(3) Kasusnya menelurkan sebuah undang-undang.
Vonis mati bagi gadis remaja diralat menjadi hukuman 30 tahun.
Pronomen “-nya” merujuk kepada apa yang
dikatakan kemudian atu menyusul, yakni “Vonis mati….”. Jadi, “nya” di sini
adalah unsure/butir katafora karena “nya” merujuk kea pa yang menyusul.
Menurut
Halliday dan Hasan rujukan merupakan satu relasi semantic sehingga tidak
diperlukan hubungan antara kelas gramatikal dan butir interprestasi. Misalnya,
“nya” endofora dapat merujuk kepada kalimat atau isi pikiran dan bukan kepada
kelas gramatikal.
Markah
kohesi yang kedua, menurut Halliday dan Hasan, adalah substitusi. Halliday dan
Hasan berpendapat bahwa substitusi merupakan satu unsur gramatikal yang
menyatakan hubungan antara kata dan bukan hubungan dalam makna.
HH memberikan contoh dalam bahasa Inggris
seperti di bawah ini : (HH, hlm 89-90)
My
axe too blunt. I must get a sharper one.
You think Joan already knows?
I think everybody does.
Has Barbare left? I think so. (so – that Barbara left)
Markah
kohesi yang ketiga, menurut HH, adalah elipsis berhubungan sengan substitusi
dan dapat menginterprestasikan bahwa elipsis adalah butir substitusi zero.
Dalam percakapan atau wacana lisan lainnya, elipsis sering muncul karena makna
telah dibantu oleh konteks percakapan dan cirri penghematan. Jika anda bertanya
kepada seseorang “Apakah Anda sudah makan?”, maka ia akan menjawab “Sudah” atau
“Belum” bergantung pada konteks. Jawaban “sudah” atau “belum” disini menunjukkan
kohesi yang elipsis terhadap pertanyaan sebelumnya.
Markah
kohesi gramatikal yang keempat adalah konjungsi/kata perangkai. Markah
perangkai ini merangkai satu kalimat dengan kalimat yang lain sehingga timbul
koherensi dan kemasukakalan. Markah konjungsi ini lah yang lebih banyak
mendapatkan perhatian dalam analisis wacana daripada markah kohesi gramatikal
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Samuel, dan Ferenc Kiefer. A Theory of Struktural Semantics. The Hague:
Mounten &
Co., 1986.
Adisusilo, Sutaryo. Problematika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1983.
Ali, Lukman. Lurah Taker. Depok:
Fakultas sastra UI, 1996.
Alston, William P. Philosophy
of Language, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc., 1964.
Ayer, A.J. Language, Truth
and Logic. London: Penguin Books, 2001.
Bakker, Anton, Dr.
Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
Beerling, Kwee, Mooij, dan van Peursen. Pengantar Filsafat Ilmu. alih bahasa Soejono
Soemagono.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
Bersten, K. Panorama
Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
----------, Filsafat Barat
Dalam Abad XX. Jakarta: PT Gramedia, 1981.
Bolinger, Dwight. Language:
The Loaded Weapon; The Use and Abuse of Language To day.
London:
Longman Group UK Limited, 1987.
0 komentar: